Rombongan dari Champa ini sementara waktu beristirahat di Gresik
sebelum meneruskan perjalanan menuju ibukota Negara Majapahit. Sayang,
setibanya di Gresik, Syeh Ibrahim As-Samarqand jatuh sakit dan meninggal dunia.
Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. Makamnya
masih ada di Gresik sekarang.
Kabar meninggalnya Syeh Ibrahim As-Samarqand sampai juga di
istana. Dewi Anarawati bersedih. Lantas, kedua putra Syeh Ibrahim As-Samarqand
dipanggil menghadap. Atas usul Dewi Anarawati, Sayyid ‘Ali Rahmad diangkat
sebagai pengganti ayahnya sebagai Guru dari sebuah Padepokan Islam yang hendak
didirikan.
Bahkan, Sayyid ‘Ali Rahmad dan Sayyid ‘Ali Murtadlo mendapat
gelar kebangsawanan Majapahit, yaitu Rahadyan atau Raden. Jadilah mereka
dikenal dengan nama Raden Rahmad dan Raden Murtolo ( Orang Jawa tidak bisa
mengucapkan huruf ‘dlo’. Huruf ‘dlo’ berubah menjadi ‘lo’. Seperti Ridlo, jadi
Rilo, Ramadlan jadi Ramelan, Riyadloh jadi Riyalat, dll). Namun lama kelamaan,
Raden Murtolo dikenal dengan nama Raden Santri, makamnya juga ada di Gresik
sekarang.
Raden Rahmad, disokong pendanaan dari Majapahit, membangun pusat
pendidikan Islam pertama di Jawa. Para muslim pesisir datang membantu. Tak
berapa lama, berdirilah Padepokan Ampeldhenta. Istilah Padepokan lama-lama
berubah menjadi Pesantren untuk membedakannya dengan Ashrama pendidikan Agama
Shiva dan Agama Buddha. Lantas dikemudian hari, Raden Rahmad dikenal dengan
nama Sunan Ampel.
Raden Santri, mengembara ke Bima, menyebarkan Islam disana,
hingga ketika sudah tua, ia kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik.
Para pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku
Buddha, sudah memperingatkan Prabhu Brawijaya. Sebab sudah terdengar kabar
dimana-mana, kaum baru ini adalah kaum missioner. Kaum yang punya misi
tertentu. Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam, Pasai juga, Palembang
juga, dan kini gerakan itu sudah semakin dekat dengan pusat kerajaan.
Semua telah memperingatkan Sang Prabhu. Tak ketinggalan pula
Sabdo Palon dan Naya Genggong. Namun, bagaikan berlalunya angin, Prabhu
Brawijaya tetap tidak mendengarkannya.Raja Majapahit yang ditakuti ini, kini
bagaikan harimau yang takluk dibawah kangkangan burung Merak, Dewi Anarawati.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu dari Wengker
dulu.
R U N T U H N Y A M A J A P A H I T
Berdirinya Giri Kedhaton
Blambangan ( Banyuwangi sekarang ), sekitar tahun 1450 Masehi
terkena wabah penyakit. Hal ini dikarenakan ketidaksadaran masyarakatnya yang
kurang mampu menjaga kebersihan lingkungan. Blambangan diperintah oleh Adipati
Menak Sembuyu, didampingi Patih Bajul Sengara.
Wabah penyakit itu masuk juga ke istana Kadipaten. Putri Sang
Adipati, Dewi Sekardhadhu, jatuh sakit. Ditengah wabah yang melanda, datanglah
seorang ulama dari Samudera Pasai ( Aceh sekarang ), yang masih berkerabat
dekat dengan Syeh Ibrahim As-Samarqand, bernama Syeh Maulana Ishaq. Dia ahli
pengobatan. Mendengar Sang Adipati mengadakan sayembara, dia serta merta
mengikutinya. Dan berkat keahlian pengobatan yang dia dapat dari Champa, sang putri
berangsur-angsur sembuh.
Adipati Menak Sembuyu menepati janji. Sesuai isi sayembara,
barangsiapa yang mampu menyembuhkan sang putri, jika lelaki akan dinikahkan
jika perempuan akan diangkat sebagai saudara, maka, Syeh Maulana Ishaq
dinikahkan dengan Dewi Sekardhadhu.
Namun pada perjalanan waktu selanjutnya, ketegangan mulai
timbul. Ini disebabkan, Syeh Maulana Ishaq, mengajak Adipati beserta seluruh
keluarga untuk memeluk agama Islam.
Ketegangan ini lama-lama berbuntut pengusiran Syeh Maulana Ishaq
dari Blambangan. Perceraian terjadi. Dan waktu itu, Dewi Sekardhadhu tengah
hamil tua. Keputusan untuk menceraikan Dewi Sekardhadhu dengan Syeh Maulana
Ishaq ini diambil oleh Sang Adipati karena melihat stabilitas Kadipaten
Blambangan yang semula tenang, lama-lama terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang
mengidolakan Syeh Maulana Ishaq dan kubu yang tetap menolak infiltrasi asing ke
wilayah mereka. Kubu pertama tertarik pada ajaran Islam, sedangkan kubu kedua
tetap tidak menyetujui masuknya Islam karena terlalu diskriminatif menurut
mereka. Antar kerabat jadi terpecah belah, saling curiga dan tegang. Ini yang
tidak mereka sukai.
Sepeninggal Syeh Maulana Ishaq, ternyata masalah belum usai.
Kubu yang pro ulama Pasai ini, kini menantikan kelahiran putra sang Syeh yang
tengah dikandung Dewi Sekardhadhu. Sosok Syeh Maulana Ishaq, kini menjadi laten
bagi stabilitas Blambangan. Mendapati situasi ketegangan belum juga bisa
diredakan, maka mau tak mau, Adipati Blambangan, dengan sangat terpaksa,
memberikan anak Syeh Maulana Ishaq, cucunya sendiri kepada saudagar muslim dari
Gresik. Anak itu terlahir laki-laki.
Dalam cerita rakyat dari sumber Islam, konon dikisahkan anak itu
dilarung ketengah laut (meniru cerita Nabi Musa) dengan menggunakan peti. Konon
ada saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar. Kapal dagangnya tiba-tiba
tidak bisa bergerak karena menabrak peti itu. Dan peti itu akhirnya dibawa naik
ke geladak oleh anak buah sang saudagar. Isinya ternyata seorang bayi.
Sesungguhnya itu hanya cerita kiasan. Yang terjadi, saudagar
muslim Gresik yang tengah berlayar di Blambangan diperintahkan untuk menghadap
ke Kadipaten menjelang mereka hendak balik ke Gresik. Inilah maksudnya kapal
tidak bisa bergerak. Para saudagar bertanya-tanya, ada kesalahan apa yang
mereka buat sehingga mereka disuruh menghadap ke Kadipaten? Ternyata, di
Kadipaten, Adipati Menak Sembuyu, dengan diam-diam telah mengatur pertemuan
itu. Sang Adipati memberikan seorang anak bayi, cucunya sendiri, yang lahir
dari ayah seorang muslim. Anak itu dititipkan kepada para saudagar anak buah
saudagar kaya di Gresik yang bernama Nyi Ageng Pinatih, yang seorang muslim.
Adipati Menak Sembuyu tahu telah menitipkan cucunya kepada siapa. Beliau yakin,
cucunya akan aman bersama Nyi Ageng Pinatih. Hanya dengan jalan inilah,
Blambangan dapat kembali tenang.
Putra Syeh Maulana Ishaq ini, lahir pada tahun 1452 Masehi.
Sekembalinya dari Blambangan, para saudagar ini menghadap kepada
majikan mereka, Nyi Ageng Pinatih sembari memberikan oleh-oleh yang sangat
berharga. Seorang anak bayi keturunan bangsawan Blambangan. Bahkan dia adalah
putra Syeh Maulana Ishaq, sosok yang disegani oleh orang-orang muslim. Nyi
Ageng Pinatih tidak berani menolak sebuah anugerah itu. Diambillah bayi itu,
dianggap anak sendiri. Karena bayi itu hadir seiring kapal selesai berlayar
dari samudera, maka bayi itu dinamakan Jaka Samudera oleh Nyi Ageng Pinatih.
Jaka Samudera dibawa menghadap ke Ampeldhenta menjelang usia
tujuh tahun. Dia tinggal disana. Belajar agama dari Sunan Ampel.
Sunan Ampel yang tahu siapa Jaka Samudera yang sebenarnya dari
Nyi Ageng Pinatih, maka sosok anak ini sangat dia perhatikan dan diistimewakan.
Sunan Ampel menganggapnya anak sendiri.
Sunan Ampel, dari hasil perkimpoiannya dengan kakak kandung
Adipati Tuban Arya Teja, memiliki delapan putra dan putri. Yang penting untuk
diketahui adalah Makdum Ibrahim ( Nama Champa-nya : Bong- Ang : kelak terkenal
dengan sebutan Sunan Benang. Lama-lama pengucapannya berubah menjadi Sunan
Bonang). Yang kedua Abdul Qasim, terkenal kemudian dengan nama Sunan Derajat.
Yang ketiga Maulana Ahmad, yang terkenal dengan nama Sunan Lamongan, yang
keempat bernama Siti Murtasi’ah, kelak dijodohkan dengan Jaka Samudera, yang
kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton (Sunan Giri), yang kelima
putri bernama Siti Asyiqah, kelak dijodohkan dengan Raden Patah ( Tan Eng Hwat
), putra Tan Eng Kian, janda Prabhu Brawijaya yang ada di Palembang itu.
Kekuatan Islam dibangun melalui tali pernikahan. Jaka Samudera,
diberi nama lain oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Paku. Kelak dia dikenal dengan
nama Sunan Giri Kedhaton. Dia adalah santri senior. Sunan Ampel bahkan telah
mencalonkan, mengkaderkan dia sebagai penggantinya kelak bila sudah meninggal.
Sunan Giri sangat radikal dalam pemahaman keagamannya. Setamat
berguru dari Ampeldhenta, dia pulang ke Gresik. Di Gresik, dia menyatukan
komunitas muslim disana. Dia mendirikan Pesantren. Terkenal dengan nama
Pesantren Giri.
Namun dalam perkembangannya, Pesantren Giri memaklumatkan lepas
dari kekuasaan Majapahit yang dia pandang Negara kafir. Pesantren Giri berubah
menjadi pusat pemerintahan. Maka dikenal dengan nama Giri Kedhaton ( Kerajaan
Giri ). Sunan Giri, mengangkat dirinya sebagi khalifah Islam dengan gelar
Prabhu Satmata ( Penguasa Bermata Enam. Gelar sindiran kepada Deva Shiva yang
cuma bermata tiga ).
Mendengar Gresik melepaskan diri dari pusat kekuasan, Prabhu
Brawijaya, sebagai Raja Diraja Nusantara yang sah, segera mengirimkan pasukan
tempur untuk menjebol Giri Kedhaton. Darah tertumpah. Darah mengalir. Dan
akhirnya, Giri Kedhaton bisa ditaklukkan. Kekhalifahan Islam bertama itu tidak
berumur lama. Namun kelak, setelah Majapahit hancur oleh serangan Demak
Bintara, Giri Kedhaton eksis lagi mulai tahun 1487 Masehi. (Sembilan tahun
setelah Majapahit hancur pada tahun 1478 Masehi).
Dari sumber Islam, banyak cerita yang memojokkan pasukan
Majapahit. Konon Sunan Giri berhasil mengusir pasukan Majapahit hanya dengan
melemparkan sebuah kalam atau penanya. Kalam miliknya ini katanya berubah
menjadi lebah-lebah yang menyengat. Sehingga membuat puyeng atau munyeng para
prajurid Majapahit. Maka dikatakan, ‘kalam’ yang bisa membuat ‘munyeng’ inilah
senjata andalan Sunan Giri. Maka dikenal dengan nama ‘Kalamunyeng’.
Sesungguhnya, ini hanya kiasan belaka. Sunan Giri, melalui tulisan-tulisannya
yang mengobarkan semangat ke-Islam-an, mampu mengadakan pemberontakan yang
sempat ‘memusingkan’ Majapahit.
Namun, karena Sunan Ampel meminta pengampunan kepada Prabhu
Brawijaya, Sunan Giri tidak mendapat hukuman. Tapi gerak-geriknya, selalu
diawasi oleh Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit. Inilah kelemahan
Prabhu Brawijaya. Terlalu meremehkan bara api kecil yang sebenarnya bisa
membahayakan.
Sabdo Palon dan Naya Genggong sudah mengingatkan agar seorang
yang bersalah harus mendapatkan sangsi hukuman. Karena itulah kewajiban yang
merupakan sebuah janji seorang Raja. Salah satu kewajiban menjalankan janji
suci sebagai AGNI atau API, yang harus mengadili siapa saja yang bersalah.
Janji ini adalah satu bagian integral dari tujuh janji yang lain, yaitu
ANGKASHA (Ruang), Raja harus memberikan ruang untuk mendengarkan suara
rakyatnya, VAYU (Angin), Raja harus mampu mewujudkan pemerataan kesejahteraan
kepada rakyatnya bagai angin, AGNI (Api), Raja harus memberikan hukuman yang
seadil-adilnya kepada yang bersalah tanpa pandang bulu bagai api yang membakar,
TIRTA (Air), Raja harus mampu menumbuhkan kesejahteraan perekonomian bagi
rakyatnya bagaikan air yang mampu menumbuhkan biji-bijian, PRTIVI (Tanah), Raja
harus mampu memberikan tempat yang aman bagi rakyatnya, menampung semuanya,
tanpa ada diskriminasi, bagaikan tanah yang mau menampung semua manusia, SURYA
(Matahari), Raja harus mampu memberikan jaminan keamanan kepada seluruh rakyat
tanpa pandang bulu seperti Matahari yang memberikan kehidupan kepada mayapada,
CHANDRA (Bulan ), Raja harus mampu mengangkat rakyatnya dari keterbelakangan,
dari kebodohan, dari kegelapan, bagaikan sang rembulan yang menyinari kegelapan
dimalam hari, dan yang terakhir adalah KARTIKA (Bintang), Raja harus mampu
memberikan aturan-aturan hukum yang jelas, kepastian hukum bagi rakyat demi
kesejahteraan, kemanusiaan, keadilan, bagaikan bintang gemintang yang mampu
menunjukkan arah mata angin dengan pasti dikala malam menjalang. Inilah DELAPAN
JANJI RAJA yang disebut ASTHAVRATA (Astobroto ; Jawa ). Dan menurut Sabdo Palon
dan Naya Genggong, Prabhu Brawijaya telah lalai menjalankan janji sucinya
sebagai AGNI.
Mendapati kondisi memanas seperti itu, Sunan Ampel mengeluarkan
sebuah fatwa, Haram hukumnya menyerang Majapahit, karena bagaimanapun juga
Prabhu Brawijaya adalah Imam yang wajib dipatuhi. Setelah keluar fatwa dari
pemimpin Islam se-Jawa, konflik mulai mereda.
Namun bagaimanapun juga, dikalangan orang-orang Islam diam-diam
terbagi menjadi dua kubu. Yaitu kubu yang mencita-citakan berdirinya
Kekhalifahan Islam Jawa, dan kubu yang tidak menginginkan berdirinya
Kekhalifahan itu. Kubu kedua ini berpendapat, dalam naungan Kerajaan Majapahit,
yang notabene Shiva Buddha, ummat Islam diberikan kebebasan untuk melaksanakan
ibadah agamanya. Bahkan, syari’at Islam pun boleh dijalankan didaerah-daerah
tertentu.
Kubu pertama dipelopori oleh Sunan Giri, sedangkan kubu kedua
dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Adipati Tuban Arya Teja, keponakan Sunan
Ampel. Kubu Sunan Giri mengklaim, bahwa golongan mereka memeluk Islam secara
kaffah, secara bulat-bulat, maka pantas disebut PUTIHAN (Kaum Putih). Dan
mereka menyebut kubu yang dipimpin Sunan Kalijaga sebagai ABANGAN (Kaum Merah).
Bibit perpecahan didalam orang-orang Islam sendiri mulai muncul.
Hal ini hanya bagaikan api dalam sekam ketika Sunan Ampel masih hidup. Kelak,
ketika Majapahit berhasil dijebol oleh para militant Islam dan ketika Sunan Ampel
sudah wafat, kedua kubu ini terlibat pertikaian frontal yang berdarah-darah (
Yang paling parah dan memakan banyak korban, sampai-sampai para investor dari
Portugis melarikan diri ke Malaka dan menceritakan di Jawa tengah terjadi
situasi chaos dan anarkhis yang mengerikan, adalah pertikaian antara Arya
Penangsang, santri Sunan Kudus, penguasa Jipang Panolan dari kubu Putihan
dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet, santri dari Sunan Kalijaga, penguasa
Pajang dari kubu Abangan. Nanti akan saya ceritakan : Damar Shashangka ).
Berdirinya Ponorogo.
Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker, sebenarnya masih keturunan
bangsawan Majapahit. Beliau masih keturunan Raden Kudha Merta, ksatria dari
Pajajaran yang melarikan diri bersama Raden Cakradhara. Raden Kudha Merta
berhasil menikah dengan Shri Gitarja, putri Raden Wijaya, Raja Pertama
Majapahit. Sedangkan Raden Cakradhara berhasil menikahi Tribhuwanatunggadewi,
kakak kandung Shri Gitarja.
Dari perkimpoian antara Raden Cakradhara dengan
Tribhuwanatunggadewi inilah lahir Prabhu Hayam Wuruk yang terkenal itu.
Sedangkan Raden Kudha Merta, menjadi penguasa daerah Wengker, yang sekarang
dikenal dengan nama Ponorogo.
Ki Ageng Kutu adalah keturunan dari Raden Kudha Merta dan Shri
Gitarja.
Melihat Majapahit, dibawah pemerintahan Prabhu Brawijaya
bagaikan harimau yang kehilangan taringnya, Ki Ageng Kutu, memaklumatkan perang
dengan Majapahit.
Prabhu Brawijaya atau Prabhu Kertabhumi menjawab tantangan Ki
Ageng Kutu dengan mengirimkan sejumlah pasukan tempur Majapahit dibawah
pimpinan Raden Bathara Katong, putra selir beliau.
Peperangan terjadi. Pasukan Majapahit terpukul mundur. Hal ini
disebabkan, banyak para prajurid Majapahit yang membelot dari kesatuannya dan
memperkuat barisan Wengker. Pasukan yang dipimpin Raden Bathara Katong kocar-kacir.
Raden Bathara Katong yang merasa malu karena telah gagal
menjalankan tugas Negara, konon tidak mau pulang ke Majapahit. Dia bertekad,
bagaimanapun juga, Wengker harus ditundukkan. Inilah sikap seorang Ksatria
sejati.
Ada seorang ulama Islam yang tinggal di Wengker yang mengamati
gejolak politik itu. Dia bernama Ki Ageng Mirah. Situasi yang tak menentu
seperti itu, dimanfaatkan olehnya. Dia mendengar Raden Bathara Katong tidak
pulang ke Majapahit, dia berusaha mencari kebenaran berita itu. Dan usahanya
menuai hasil. Dia berhasil menemukan tempat persembunyian Raden Bathara Katong.
Dia menawarkan diri bisa memberikan solusi untuk menundukkan
Wengker karena dia sudah lama tinggal disana. Raden Bathara Katong tertarik.
Namun diam-diam, Ki Ageng Mirah, menanamkan doktrin ke-Islam-an dibenak Raden
Bathara Katong. Jika ini berhasil, setidaknya peng-Islam-an Wengker akan
semakin mudah, karena Raden Bathara Katong mempunyai akses langsung dengan
militer Majapahit. Jika-pun tidak berhasil membuat Raden Bathara Katong memeluk
Islam, setidaknya, kelak dia tidak akan melupakan jasanya telah membantu
memberitahukan titik kelemahan Wengker. Dan bila itu terjadi, Ki Ageng Mirah
pasti akan menduduki kedudukan yang mempunyai akses luas menyebarkan Islam di
Wengker.
Dan ternyata, Raden Bathara Katong tertarik dengan agama baru
itu.
Selanjutnya, Ki Ageng Mirah mengatur rencana. Raden Bathara
Katong harus pura-pura meminta suaka politik di Wengker. Raden Bathara Katong
harus mengatakan untuk memohon perlindungan kepada Ki Ageng Kutu. Dia harus
pura-pura membelot dari pihak Majapahit.
Ki Ageng Kutu pasti akan menerima pengabdian Raden Bathara
Katong. Ki Ageng Kutu pasti akan senang melihat Raden Bathara Katong telah
membelot dan kini berada di fihaknya. Manakala rencana itu sudah berhasil,
Raden Bathara Katong harus mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken
Gendhini, putri sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri. Mengingat status Raden
Bathara Katong sebagai seorang putra Raja Majapahit, lamaran itu pasti akan
disambut gembira oleh Ki Ageng Kutu..
Dan bila semua rencana berjalan mulus, Raden Bathara Katong
harus mampu menebarkan pengaruhnya kepada kerabat Wengker. Dia harus jeli dan
teliti mengamati titik kelemahan Wengker. Ni Ken Gendhini, putri Ki Ageng Kutu
bisa dimanfaatkan untuk tujuan itu.
Bila semua sudah mulus berjalan, dan bila waktunya sudah tepat,
maka Raden Bathara Katong harus sesegera mungkin mengirimkan utusan ke
Majapahit untuk meminta pasukan tempur tambahan.
Bila semua berjalan lancar, Wengker pasti jatuh!
Raden Bathara Katong melaksanakan semua rencana yang disusun Ki
Ageng Mirah. Dan atas kelihaian Raden Bathara Katong, semua berjalan lancar.
Ki Ageng Kutu, yang merasa masih mempunyai hubungan kekerabatan
jauh dengan Raden Bathara Katong, dengan suka rela berkenan memberikan suaka
politik kepadanya. Ditambah, ketika Raden Bathara Katong mengutarakan niatnya
untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, Ki Ageng Kutu serta merta menyetujuinya.
Rencana bergulir. Umpan sudah dimakan. Tinggal menunggu waktu.
Ni Ken Gendhini mempunyai dua orang adik laki-laki, Sura
Menggala dan Sura Handaka. (Sura Menggala = baca Suromenggolo, sampai sekarang
menjadi tokoh kebanggaan masyarakat Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok
Suromenggolo : Damar Shashangka).
Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala berhasil masuk pengaruh Raden
Bathara Katong, sedangkan Sura Handaka tidak.
Raden Bathara Katong berhasil mengungkap segala seluk-beluk
kelemahan Wengker dari Ni Ken Gendhini. Inilah yang diceritakan secara simbolik
dengan dicurinya Keris Pusaka Ki Ageng Kutu, yang bernama Keris Kyai Condhong
Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian diserahkan kepada Raden Bathara Katong.
Condhong Rawe hanya metafora. Condhong berarti Melintang
(Vertikal) dan Rawe berarti Tegak (Horisontal). Arti sesungguhnya adalah,
kekuatan yang tegak dan melintang dari seluruh pasukan Wengker, telah berhasil
diketahui secara cermat oleh Raden Bathara Katong atas bantuan Ni Ken Gendhini.
Struktur kekuatan militer ini sudah bisa dibaca dan diketahui semuanya.
Dan manakala waktu sudah dirasa tepat, dengan diam-diam,
dikirimkannya utusan kepada Ki Ageng Mirah. Utusan ini menyuruh Ki Ageng Mirah,
atas nama Raden Bathara Katong, memohon tambahan pasukan tempur ke Majapahit.
Mendapati kabar Raden Bathara Katong masih hidup, Prabhu
Brawijaya segera memenuhi permintaan pengiriman pasukan baru.
Majapahit dan Wengker diadu! Majapahit dan Wengker tidak
menyadari, ada pihak ketiga bermain disana! Ironis sekali.
Peperangan kembali pecah. Ki Ageng Kutu yang benar-benar merasa
kecolongan, dengan marah mengamuk dimedan laga bagai bantheng ketaton, bagai
banteng yang terluka. Demi Dharma, dia rela menumpahkan darahnya diatas bumi
pertiwi. Walau harus lebur menjadi abu, Ki Ageng Kutu, beserta segenap pasukan
Wengker, maju terus pantang mundur!
Namun bagaimanapun, seluruh struktur kekuatan Wengker telah
diketahui oleh Raden Bathara Katong. Pasukan Wengker, yang terkenal dengan nama
Pasukan Warok itu terdesak hebat! Namun, Ki Ageng Kutu beserta seluruh
pasukannya telah siap untuk mati. Siap mati habis-habisan! Siap menumpahkan
darahnya diatas hamparan pangkuan ibu pertiwi! Dengan gagh berani, pasukan
ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan Majapahit.
Banyak kepala pasukan Majapahit yang menangis melihat mereka
harus bertempur dengan saudara sendiri. Banyak yang meneteskan air mata,
melihat mayat-mayat prajurid Wengker bergelimpangan bermandikan darah. Dan pada
akhirnya, Wengker berhasil dijebol. Wengker berhasil dihancurkan!
Darah menetes! Darah membasahi ibu pertiwi. Darah harum para
ksatria sejati yang benar-benar tulus menegakkan Dharma! Alam telah
mencatatnya! Alam telah merekamnya!
Kabar kemenangan itu sampai di Majapahit. Namun, Prabhu
Brawijaya berkabung mendengar kegagahan pasukan Wengker. Mendengar kegagahan Ki
Ageng Kutu. Seluruh Pejabat Majapahit berkabung. Sabdo Palon dan Naya Genggong
berkabung. Kabar kemenangan itu membuat Majapahit bersedih, bukannya bersuka
cita.
Para pejabat Majapahit menagis sedih melihat sesama saudara
harus saling menumpahkan darah karena campur tangan pihak ketiga, karena
disebabkan adanya pihak ketiga. Ki Ageng Kutu adalah seorang Ksatria yang gagah
berani. Ki Ageng Kutu adalah salah satu sendi kekuatan militer Majapahit. Kini,
Ki Ageng Kutu harus gugur ditangan pasukan Majapahit sendiri. Betapa tidak
memilukan!
Pertumpahan Darah Antar Saudara
Kadipaten Wengker kini dikuasai oleh Raden Bathara Katong. Surat
pengukuhan telah diterima dari pusat. Dan Wengker lantas dirubah namanya
menjadi Kadipaten Ponorogo. Wengker yang Shiva Buddha, kini telah berhasil
menjadi Kadipaten Islam